Pengenalan & Takrif
Mendatangi
wanita pada duburnya hukumnya haram. Seorang laki-laki diharamkan
mendatangi seorang wanita pada duburnya. Sebagian ulama menganggapnya
sebagai salah satu bentuk perzinaan. Namu ia tidak dinamakan dengan
liwath walaupun seperti liwath. Kadangkala disebut liwath dengan
wanita, maksudnya adalah mendatangi wanita pada duburnya. Liwath,
membawa makna mutlak apabila seorang laki-laki mendatangi laki-laki
lainnya, dan ia tidak memiliki makna lain. Sedangkan mendatangi wanita
pada duburnya tidak tepat disebut dengan liwath. Itu sebabnya,
keharaman mendatangi wanita pada duburnya kedudukannya bukan sebagai
perzinaan, mahupun liwath. Karena tindakan itu bukan termasuk zina dan
bukan pula tergolong liwath.
Al-Quran Memerintah Menggauli Isteri Hanya
Di Faraj
Jadi,
ditetapkan berdasarkan dalil syara' yang menunjukkan hal tersebut.
Allah Swt. berfirman:
Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. (TQS al-Baqarah [2]: 222)
Ini adalah
pembatas untuk mendatangi wanita dari sudut yang diperintahkan oleh
Allah Swt, yaitu faraj. Mafhumnya, janganlah kalian mendatangi
wanita selain pada tempat yang telah diperintahkan Allah kepada kalian.
Hal ini merujuk kepada wanita yang diperintahkan untuk kita
mengahwininya:
Maka kahwinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.
(TQS An Nisa'[4]:3)
Dan kahwinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu. (TQS An-Nur [24]:32)
Karena itu
kahwinilah mereka dengan seizin tuan mereka.
(TQS An Nisa' [4]:25)
Yakni menikah.
Ini adalah nas
supaya seorang laki-laki mendatangi isterinya pada tempat yang telah
diperintahkan Allah Swt, yakni faraj. 'Ali bin Abi Thalhah berkata
dari Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah Swt:
Datangilah wanita dari sisi yang telah
diperintahkan Allah kepada kalian.
(TQS al-Baqarah [2]: 222).
Ibnu `Abbas
berkata, faraj. Dan janganlah kalian melampaui batasannya, maka barang
siapa melakukan di luar had ini, sungguh ia telah melampaui batasan.
Mujahid berkata (berkenaan dengan firman Allah Swt), "Datangilah
wanita dari sisi yang telah diperintahkan Allah kepada kalian. ",
yakni faraj. Oleh karena itu tidak benar jika dikatakan bahawa
pengertian ayat itu merujuk kepada firman Allah Swt:
Hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid. (TQS al-Baqarah [2]: 222)
Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu.
(TQS alBaqarah [2]: 222)
Pernyataan itu tidak
dapat diterima karena mahidh adalah waktu, bukan tempat.
Seandainya yang dimaksud adalah haid, tentu Allah akan berfirman, "datangilah
wanita pada waktu tidak haid". Akan tetapi, kata "haitsu"
dalalah-nya menunjukkan pada tempat. Jadi tidak mungkin mengalihkan
maknanya pada haid, karena terdapat kata "haitsu". Sementara kata "haistu"
tidak menunjukkan pengertian kecuali tempat. Dengan demikian,
pengertiannya bukanlah merujuk pada haid, akan tetapi tempat. Jadi,
yang dimaksud adalah, datangilah wanita pada tempat yang Allah telah
perintahkan kepada kalian. Pada tempat yang telah diperintahkan Allah
kepada kalian adalah faraj. Faraj adalah tempat yang diperintahkan
untuk didatangi oleh seorang laki-laki pada ayat-ayat tentang nikah,
dan suami-isteri: Pengertian ini diperkuat dengan ayat sesudahnya,
yang menjelaskan kedudukan wanita. Yaitu kedudukannya adalah untuk
melahirkan. Allah Swt berfirman yang dimaksudkan seakan-akan,
"Datangilah (pada tempat) yang bisa mendatangkan kelahiran.
Kelahiran tidak akan terjadi kecuali (mendatangi wanita tersebut) pada
farajnya".
Allah Swt berfirman:
Hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid. Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orangorang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (TQS al-Baqarah
[2]: 222)
Ayat ini [nisaa ukum
hartsul lakum], sebagai penjelas ayat sebelumnya, yaitu firman Allah
Swt [fa'tuhunna min haitsu amarakumullahu]. Ayat ini menjelaskan
tempat yang telah diperintahkan Allah Swt., yakni faraj. Firman Allah
[hartsakum], adalah kinayah dari tempat bercocok tanam. Dan firman
Allah [annaa syi'tum] yaitu bagaimana saja kamu kehendaki, karena kata
[annaa] maknanya adalah bagaimana, bukan dimana atau dari mana. Jadi,
kata [annaa] digunakan dengan makna kaifa, tidak digunakan dengan
makna min aina, kecuali sangat sedikit. Seandainya ia digunakan dengan
dua makna, maka firman Allah Swt [hartsakum] sebagai qarinah, bahawa
makna kata annaa, adalah kaifah, bukan min aina. Qarinah ini terdapat
dalam dua tempat, yaitu firman Allah Swt [nisaa ukum hartsul lakum].
Ini sudah cukup membuktikan bahawa makna keberadaan isteri sebagai
ladang bercocok tanam, adalah mendatanginya pada tempat bercocok tanam
(faraj). Bahkan, Allah mengulang kata harts tatkala Allah
memerintahkan suami untuk mendatangi isterinya. Allah Swt berfirman [fa'tu
hartsakum annaa syi'tum], tidak berfirman [fa'tuhunna annaa
syi'tum]-datangilah dia (isteri) sesuka kalian, untuk memperkuat dan
menafikan semua kemungkinan.
Sehingga
Allah Swt. seakan-akan berfirman, "Tidak dosa bagi kalian untuk
mendatangi isteri kalian pada tempatnya (faraj) dengan cara
bagaimanapun yang kalian suka. ". Oleh karena itu, firman Allah Swt [fa'tu
hartsakum], menunjukkan dengan jelas untuk mendatangi isteri pada
farajnya. Selain itu, sebab turun ayat ini-yakni kejadian yang melatar
belakangi turunnya ayat ini-berkaitan dengan pertanyaan tentang cara
mendatangi isteri. Jadi, sebab turun ayat ini mengkhususkan makna ayat
tersebut di atas.
Dari
Sufyan bin Sa'id al Tsauriy, bahawa Muhammad bin al-Munkadir, telah
menceritakan kepada mereka, bahawa Jabir bin Abdillah telah
mengabarkan kepadanya, ada seorang Yahudi berkata kepada kaum Muslim,
bahawa barang siapa mendatangi wanita dari belakang, maka anaknya akan
bermata juling. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat
[nisaa ukum hartsul lakum fa'tuu
hartsakum annaa syi'tum].
Ibnu
Juraij dalam hadis meriwayatkan bahawa Rasulullah saw bersabda,
"Boleh dari muka dan belakang, jika
tetap mengarah kepada faraj."
Oleh
karena itu, firman Allah Swt [fa'tuhunna min haitsu amarakumullahu]
menunjukkan haramnya mendatangi isteri pada tempat selain yang
diperintahkan Allah Swt, yaitu faraj. Hal ini juga ditunjukkan oleh
ayat tentang perkahwinan dan suami-isteri. Ini adalah dalil tentang
keharaman mendatangi isteri pada duburnya. Selain itu, terdapat
hadis-hadis yang menunjukkan dengan jelas larangan mendatangi isteri
pada duburnya.
Larangan Hadis
Dari
Khuzaimah bin Tsabit:Rasulullah saw melarang seorang laki-laki
mendatangi isterinya pada duburnya. Dari Ibnu `Abbas berkata,
Rasulullah saw. bersabda:
Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi
seorang laki-laki, dan mendatangi isterinya pada duburnya.
Dari Amru
bin Syu'aib dari bapaknya, dari kakeknya, bahawa Nabi saw. bersabda:
Orang yang mendatangi isterinya pada duburnya, maka itu adalah
perbuatan liwath kecil.
Dari `Ali
bin Thalaq:
Rasulullah saw. melarang (perbuatan),
seorang wanita didatangi pada duburnya, sesungguhnya Allah tidak malu
menyatakan yang hak.
Imam Ahmad
mengeluarkan juga sebuah hadis dari Abi Mu'awiyyah, Imam Ahmad berkata,
"Telah meriwayatkan kepada kami Abdurrazaq, telah mengabarkan kepada
kami Ma'mar, dari Suhail bin Abi ShAlih, dari HArits, dari Makhlad,
dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw.:
Sesungguhnya orang yang mendatangi isterinya pada duburnya, tidak akan
dilihat oleh Allah Swt
Imam Ahmad
juga berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami 'Affan, telah
meriwayatkan kepada kami Wahib, telah meriwayatkan kepada kami Suhail
dari Harits bin Makhlad, dari Abu Hurairah, marfu' (menyambung) kepada
Rasulullah saw, beliau saw. bersabda:
Allah
tidak akan melihat seorang laki laki yang berjima' dengan isterinya
pada duburnya.
Hukuman Untuk Kesalahan Wat’ei Dubur
Hadis-hadis ini, seluruhnya merupakan dalil tentang pengharaman
mendatangi isteri pada duburnya. Seorang suami diharamkan mendatangi
isterinya pada duburnya. Meskipun demikian syara' tidak menetapkan
hukuman khusus untuk kesalahan tersebut. Oleh karena itu perbuatan
semacam ini tidak termasuk dalam hudud, melainkan termasuk ke dalam
ta'zir Imam atau qadhiy wajib menetapkan hukuman kepada pelanggarnya
dengan hukuman yang menyakitkan, sehingga hukuman itu bisa berfungsi
sebagai pencegah. Karena, hukuman itu meskipun bentuknya ta'zir tetapi
harus bisa berfungsi sebagai pencegah. Jadi, hukumannya harus yang "menyakitkan".
Yang lebih baik, penetapan hukumannya diserahkan kepada Qadhi.
|